oleh Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara :
Kehadiran kembali seorang Mursyid di Nusantara, yang datang dari Andalusia, melalui Afrika Selatan, telah membawa cahaya kembali ke wilayah ini.
Nama Shaykh Umar Ibrahim Vadillo mulai dikenal luas di dunia internasional pada awal 1990an. Ini dimulai ketika ia, sebagai pemuda berusia 28 tahun, mencetak kembali koin Dinar emas dan Dirham perak di Granada, Spanyol, pada 1992. Tindakan ini ia lakukan sebagai konsekuensi dari terbitnya Fatwa Haramnya Uang Kertas sebagai Alat Tukar yang ia terbitkan setahun sebelumnya, 1991. Fatwa itu sendiri ia terbitkan sesudah beberapa tahun mempelajari secara mendalam persoalan muamalat dan riba dalam syariat Islam.
Mengharamkan uang kertas, dan kemudian mencetak kembali koin emas dan koin perak? Bagi umumnya orang tindakan pemuda Umar ini, tentu saja, terlihat sebagai sebuah keasingan. Mengapa ia melakukannya? Paling tidak ada dua alasan mendasar.
Mengapa Uang Kertas Haram
Pertama, secara ekonomi politik sistem uang kertas adalah mekanisme perompakan yang dilakukan oleh segelintir orang atas semua orang lain yang menggunakan uang kertas tersebut. Namun demikian hampir tidak ada yang melihatnya karena perompakan ini dilakukan secara sistematis dan dilegalisir melalui undang-undang mata uang nasional atau Legal Tender Law. Makna dari sistem ini adalah pemberian hak monopoli kepada satu pihak, dalam hal ini Bank Sentral, untuk menerbitkan dan mengedarkan uang kertas, senilai dan sebanyak yang mereka suka. Seluruh warga negara kemudian diwajibkan untuk hanya menggunakan uang kertas bersangkutan sebagai alat tukar sehari-hari.
Akibat dari pencetakan uang kertas yang terus-menerus, dengan tanpa jaminan komoditas apa pun sebagaimana pada awal uang kertas itu diciptakan (uang kertas didukung oleh emas atau perak), adalah inflasi yang terus-menerus. Dalam kehidupan sehari-hari yang dirasakan oleh masyarakat adalah harga barang dan jasa yang terus-menerus naik. Tetapi, nilai tukar barang-barang sebenarnya tidaklah berubah, yang berubah adalah nilai tukar mata uang kertasnya yang terus-menerus merosot karena pencetakan dan perputarannya yang tak terbatas. Pencetakan dan peredaran uang kertas itu sendiri saat ini sepenuhnya berbasiskan kepada utang: uang kertas itu sendiri adalah 'uang kredit'. Inflasi, tidak lain, adalah pemajakan paksa yang dilakukan oleh perbankan kepada seluruh penduduk.
Bukan cuma itu. Sistem uang kertas, dengan motor penggeraknya sistem perbankan, karena tidak memiliki dukungan asset apa pun, di satu titik akan meledak. Hal ini secara matematis dapat diperhitungkan, hanya saat kehancurannya saja yang tidak dapat dipastikan. Tetapi, secara empiris, kita telah berkali-kali mengalaminya, yang belakangan disebut-sebut sebagai Krisis Moneter. Setiap kali Krisis Moneter terjadi, semakin besar dampaknya, sampai nanti tiba krisis lain, mungkin yang terakhir, yang meruntuhkan semuanya, hingga situasi tidak tertolong lagi.
Kedua, secara legal, dari sudut pandang Hukum Islam, sistem uang kertas tidak lain adalah sistem riba. Karena nilainya hanyalah sebesar nilai intrinsik kertasnya, yang tentu saja tak seberapa, dan penggunaannya yang dipaksakan, uang kertas melanggar beberapa rukun dan syarat dasar perdagangan. Pertama-tama Allah, subhanahu wa ta'ala, menyatakan bahwa dasar pertama perdagangan adalah suka rela, dan itu termasuk dalam pemilihan alat tukar. Dalam pertukaran suka rela ini barang yang dipertukarkan haruslah setara dengan setara. Artinya baik barang yang diserahkan maupun alat tukar yang digunakan harus memiliki nilai intrinsik. Syarat ketiga sahnya perdagangan adalah transaksi harus dilakukan secara kontan. Baik barang maupun alat tukarnya harus diserahterimakan pada saat yang bersamaan, tidak boleh salah satunya ditangguhkan.
Substansi uang kertas, sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan secara ringkas, menjadikannya tidak dapat memenuhi ketiga syarat jual beli tersebut. Uang kertas, sebagai alat tukar, tidak bersifat suka rela, tidak memiliki kesetaraan nilai dengan barang yang dipertukarkan, dan tidak memberikan pembayaran tunai. Dengan kata lain, secara ringkas, uang kertas adalah riba. Dan di dalamnya terkandung sekaligus dua jenis riba, yaitu riba al fadl, yakni riba yang timbul akibat penambahan nilai yang tidak dibolehkan (dalam hal ini direfleksikan sebagai nilai nominal uang kertas) dan riba an nasi'ah, yakni riba yang timbul akibat penangguhan pembayaran yang dilarang (karena uang kertas adalah nota utang atas sejumlah harta tertentu, yang saat ini utang itu pun bahkan tidak lagi diakui oleh penerbitnya).
Sebelum Shaykh Umar menerbitkan fatwa haramnya uang kertas dan mencetak kembali dinar dan dirham sebagai konsekuensinya, sejak dua dekade sebelumnya, Shaykh Dr Abdalqadir as-Sufi, pembimbing Shaykh Umar, telah menyampaikan kepada dunia kritiknya atas sistem uang kertas yang tidak adil dan rapuh ini. Tapi kritik itu hanya sampai pada sedikit orang dan dari yang sedikit itu lebih jarang lagi yang memberi sambutan dengan baik. Di banyak kalangan dan tempat kritik ini bahkan sangat tidak populer. Sampai terjadilah Krisis Moneter yang melanda Asia pada 1997-1998 lalu. Satu di antara sedikit tokoh yang kemudian mendengarkan saran solusi atas persoalan mendasar sistem finansial modern ini adalah Perdana Menteri Malaysia saat itu, Dr Mahathir Mohammad.
Momentum demi Momentum
Sekitar sepuluh tahun kemudian, krisis moneter sejenis kembali terjadi, kali ini di jantungnya sendiri yaitu di AS dan Eropa. Dimulai pada akhir 2008, dengan persoalan gagal bayar pada kredit perumahan di AS, yang diikuti dengan kebangkrutan beberapa perusahaan finansial, seperti Lehman Brothers, dunia terus dibayangi bencana keuangan global. Sampai lewat pertengahan 2010 krisis keuangan di Eropa, dengan pusatnya di Yunani dan mulai menular ke Spanyol dan Portugal, membuka mata dunia akan kebenaran segala yang disampaikan oleh Shaykh Abdalqadir sejak dua tiga dekade lalu. Pengenalan kembali Dinar dan Dirham pun semakin luas diterima.
Momentum lain adalah kebijakan Negeri Kelantan, Malaysia, sebagai institusi pemerintahan pertama di dunia yang mengadopsi Dinar dan Dirham sebagai mata uang syariah. Negeri Kelantan secara resmi mendirikan institusi khusus untuk ini, yaitu Kelantan Golden Trade (KGT) Sdn. Bhd. YAB Dato Nik Abdul Aziz bib Nik Mat, Menteri Besar Kelantan, didampingi oleh Menteri Keuangan Kelantan, Datuk Husam Musa, meresmikan peluncuran Dinar Dirham Kelantan, 2 Ramadhan 1431 H lalu. Peresmian mata uang syariah ini ditandai dengan penerapan Dinar dan Dirham secara luas: untuk pembayaran zakat, transaksi jual beli, dan pembayaran gaji (mulai saat ini 25% gaji pegawai negeri Kelantan akan dibayarkan dalam Dinar emas). Pada tahap awal ini di Kota Bharu (ibu kota Kelantan), khususnya di Pasar Besar Siti Khadija, seribu pedagang telah menerima Dinar dan Dirham. Di belakang gerakan Negeri Kelantan itu pun, tidak lain adalah Shaykh Umar Vadillo, yang sejak 2009 menjabat sebagai CEO KGT.
Untuk memastikan bahwa ekonomi berbasis Dinar dan Dirham dapat berjalan secara universal, Shaykh Umar juga telah memikirkan sebuah mekanisme pengaturan. Untuk itu, sejak awal pencetakan prototipe Dinar dan Dirham, 1992, ia menginisiasi World Islamic Trading Organization (WITO) dan, belakangan, World Islamic Mint (WIM). Produk pertama yang dikeluarkan oleh WITO adalah standar teknis koin, yang didasarkan kepada standar yang dibuat oleh Khalifah Umar ibn Khattab, serta rancang muka koin-koin Dinar Dirham, yang saat ini dikenal sebagai Seri Haji, yaitu koin Dinar bergambar masjid Nabawi dan koin Dirham bergambar Masjidil Haram.
Di luar itu berbagai corak koin Dinar dan Dirham mulai muncul, seperti Seri Nusantara, sebagaimana yang diedarkan oleh WIN (Wakala Induk Nusantara), Indonesia, dengan Dinar bergambar Masjid Demak dan Dirham bergambar Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon. Terakhir adalah Dinar dan Dirham Kelantan tersebut di atas, dengan gambar simbol Negeri Kelantan, yakni dua ekor kijang, dengan mahkota serta senjata tradisional Kelantan. Meski belum ada sebutan resminya Dinar dan Dirham Kelantan ini dapat digolongkan sebagai Seri Pemerintah.
Maka, standarisasi teknis koin saja menjadi tak mencukupi. Ada persoalan otorisasi pihak pencetak dan pengedar koin. Penerapan Dinar dan Dirham secara internasional juga menimbulkan masalah standarisasi nilai tukar. Ini semua menjadi agenda World Islamic Mint (WIM) yang saat ini dipimpin oleh Bapak Abu Bakr Rieger, dari Jerman. Sebagai lembaga pengatur, WIM dilengkapi dengan Shariah Counselor, yang berperan mengawasi soal-soal hukum, yang saat ini dijabat oleh seorang imam dari Masjid Granada, Spanyol, yakni Haji Abdalhasib Casteniera.
Ringkasnya berbagai hal di atas menggambarkan apa yang dipikirkan dan dikerjakan oleh Shaykh Umar Vadillo adalah sebuah kelengkapan pengetahuan dan amal, konsep dan praksis. Dia adalah sosok seorang mujahid yang bukan saja tidak mengenal lelah, tetapi memiliki visi akan kemenangan Islam. Sebab, keyakinannya sepenuhnya dilandasi oleh sikap penyerahan diri secara total hanya kepada Allah, subhanahu wa ta'ala, kepada kalimat dzikir la haula wala quwwata illa billah, sebagaimana setiap kali ia sitir baik secara lisan maupun tulisan. Ia tidak mengenal adagium: Dawud melawan Jalut. Adagiumnya adalah ketika Kebenaran Datang, Kebatilan Musnah. Selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini Shaykh Umar tidak pernah berhenti dan diam. Dia terus bergerak, dalam berbagai bentuk tindakan, menulis, mengajar, mengerjakan, sambil menularkan semua itu kepada setiap orang. Ia tidak pernah membeda-bedakan orang, ketika berbicara dengan seseorang di pinggir jalan atau seorang kepala negara: ia melakukannya dengan isi dan bobot pesan yang sama. Dan dengan visi yang juga sama: kemenangan Islam, kembalinya 'amal Ahlul Madinah.
Karya Tulis dan Buku
Selain Dinar dan Dirham yang kini mulai diterapkan di mana-mana Shaykh Umar menghadirkan sejumlah pengetahuan kepada kita melalui berbagai karya tulisnya, baik berupa buku, risalah, artikel, maupun naskah pidato. Dua buku yang ia tulis pada awal 1990an adalah The End of Economics (1991), kemudian The Return of Islamic Gold Dinar (1996), dua judul buku yang merefleksikan perjalanan perjuangannya. Pada tahun 2003 sebuah bukunya yang lain, setebal hampir 1000 halaman, The Esoteric Deviation in Islam, diterbitkan. Buku ini membedah penyakit yang diderita oleh sebagian kaum muslimin sendiri, yang dalam kurun lebih dari 150 tahun belakangan ini, mengambil jalan yang keliru, yakni mengasimilasikan Islam kedalam kapitalisme.
Dalam buku ini Shaykh Umar mengatakan asimilasi adalah 'upaya [kaum] kapitalis untuk membawa Islam ke dalam pandangan dunia (world view) mereka,' yang dengan jelas dapat dilihat khususnya pada proses 'islamisasi segala segi kehidupan'. Dua pintu pertamanya adalah ide tentang politik (negara) Islam dan ekonomi Islam. Kata 'Islam' dipakai sekadar menjadi 'siasat pemasaran' yang ditempelkan di belakang berbagai pranata kapitalistik tersebut: partai Islam, negara Islam, parlemen Islam, demokrasi Islam, bank Islam, pasar saham Islam, kartu kredit Islam, reksadana Islam, MLM (Multi Level Marketing) Islam, dan seterusnya. Akibat dari islamisasi kapitalisme ini adalah semakin tidak dikenalinya model kedidupan sosial ekonomi Islam sendiri, yakni muamalat.
Kini dua dekade sejak tindakan pertama Shaykh Umar, mencetak prototipe Dinar dan Dirham (1992) itu, umat Islam mulai melihat pohon yang telah bersemai, meski buahnya belum sepenuhnya bisa dipetik. Bibit-bibit kembalinya pilar-pilar muamalat, Dinar dan Dirham, pasar-pasar terbuka, pedagang, dan kontrak-kontrak Islam, mulai bersemi di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Kesadaran umat Islam untuk kembali kepada model yang lebih genuine, yakni muamalat, dan bukan kapitalisme Islam, dan menuju kepada kemenangan atas sistem riba yang menindas, dan bukan tunduk di bawah ketiaknya, mulai hadir di seluruh dunia Islam.
Dengan itu Shaykh Umar terus bergerak. Dari Granada ke Istambul. Dari Istambul ke Rabat. Dari Rabat ke Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur terus ke Jakarta. Dari Jakarta ke Kelantan. Dari Kelantan ia pergi ke Aceh. Dari Aceh ia akan ke Kesultanan Sulu, Filipina Selatan. Dari Sulu, entah bumi mana lagi yang Allah bukakan pintu untuknya, yang pasti akan ia datangi dengan riang hati. Dengan itu Shaykh Umar juga terus sambil menulis, mengajar, mentransmisikan pengetahuan dan keteladanan 'amal kepada setiap muslim yang ia temui. Pada awal tahun 2006, risalah bahan kuliahnya di Dallas College, Cape Town, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans; bersama penulis lain yaitu Shaykh Abdalhaqq Bewley (Piramedia, 2006).
Tentang Kefaqihannya
Menjelang akhir 2006 Shaykh Umar kembali mengeluarkan sebuah fatwa penting, Fatwa on Banking and the Use of Interest Received on Bank Deposits (Fatwa tentang Perbankan dan Penggunaan Bunga Deposito). Ini adalah sebuah dokumen fatwa setebal 66 halaman ia tulis dengan cukup komprehensif. Fatwa ini memberikan panduan yang jelas atas kebingungan umat Islam dalam kenyataan sehari-hari yang masih tidak lepas dari urusan dengan sistem riba, yakni sistem perbankan. Terakhir, sebagai bagian dari yang ia lakukan di Kelantan, pertengahan 2010, Shaykh Umar kembali menulis sebuah fatwa, yakni tentang zakat, berjudul Fatwa on the Payment of Zakat: Using Dinar and Dirham the Issue of Ayn and Dayn in Zakat.
Fatwa tentang zakat ini sangatlah penting, sebab pengetahuan umat Islam tentang rukun zakat secara benar praktis telah hilang, akibat proses politik yang berlangsung dalam 100 tahun terakhir ini. Hilangnya Dinar dan Dirham, bersamaan dengan runtuhnya daulah Islam terakhir di bawah Daulah Utsmani, sejak 1924, telah mengubah praktek pengamalan zakat menjadi sedekah biasa. Dua rukun zakat yang roboh saat ini adalah keharusan penarikan zakat oleh sebuah otoritas Islam dan pembayarannya yang hanya bisa dilakukan dengan ayn (komoditas nyata), dan bukan dengan dayn (nota utang, seperti uang kertas). Fatwa ini mendudukkan kembali dua pilar tersebut.
Fatwa tentang zakat ini, sebagaimana dua fatwa lain yang ia terbitkan, yakni Fatwa tentang Pelarangan Uang Kertas sebagai Alat Tukar (1991) dan Fatwa tentang Perbankan (2006), sebagaimana disebut di atas, sekaligus menunjukkan kefaqihan Shaykh Umar Vadillo. Dalam sambutan yang diberikan pada saat peluncuran Dinar Kelantan, 2 Ramadhan 1431 H lalu, Shaykh Abdalqadir menyebutkan bahwa Shaykh Umar Vadillo adalah 'faqih nomer satu dalam masalah finansial' yang dimiliki dunia Islam saat ini.
Sebagai seorang faqih Shaykh Umar telah mampu 'membacakan' kembali, dan dengan itu memberikan pemahaman, bagi umat Islam dunia, pengetahuan yang telah dilupakan dan terkubur selama seratus tahun terakhir atas satu bagian yang sangat penting dari kitab Al Muwatta-nya Imam Malik, semoga Allah merahmatinya, yakni muamalat. Dalam salah satu tulisannya yang meskipun cukup ringkas, yaitu Ketetapan Hukum Uang Kertas, kita dapat menilai kefaqihan Shaykh Umar ini.
Menjelang akhir 2011 penerbit Delokomotif, Jogyakarta, tengah menyiapkan kumulan tulisannya menjadi sebuah buku, berjudul Jihad Melawan Kapitalisme. Berbeda dari buku-buku yang telah disebutkan sebelumnya, buku Jihad Melawan Kapitalisme ini tidak berasal dari suatu naskah yang memang disiapkan sebagai sebuah buku, tetapi berasal dari beberapa risalah, artikel, atau naskah pidato Shaykh Umar yang terpisah-pisah. Dua di antaranya adalah makalah yang ia sampaikan pada Konferensi Pemuda di Cape Town, 2005 (Rekonstruksi Muamalat Islam di Tengah Krisis Kapitalisme), dan Konferensi Internasional Fiqih, juga di Cape Town, 2008 (Prioritas Fiqih dan Muamalat). Selebihnya adalah tulisan yang dipresentasikan di berbagai kesempatan. Satu tulisan, yakni Jihad Melawan Kapitalisme, berasal dari wawancara Shaykh Umar dengan majalah Gontor, pada saat kunjungannya ke Jakarta, 2007 lalu.
Meski semula terpisah-pisah, himpunan tulisan ini secara keseluruhan ketika dibukukan memperlihatkan alur dan kerangka pemikiran yang solid dan sistematis. Semuanya menggambarkan rekonstruksi muamalat sebagai jalan keluar dari kungkungan kapitalisme, atau riba, yang menindas saat ini. Tetapi, lebih dari itu, buku ini mengalirkan semangat dan enerji perjuangan yang sangat menggugah.
Cahaya Kembali Bersinar
Pada saat Moussem 2011 di Kuala Lumpur, Haji Umar Ibrahim Vadillo, telah dikukuhkan sebagai seorang shaykh. Ini adalah hadiah besar bagi umat Islam di Nusantara, yang sejak keruntuhan Daulah Utsmani, yang diikuti dengan lenyapnya satu per satu daulah Islam di Nusantara, kehilangan panduan. Kehadiran kembali seorang Mursyid di Nusantara, yang datang dari Andalusia, melalui Afrika Selatan, telah membawa cahaya itu kembali ke wilayah ini. Seperti halnya tiga abad lalu cahaya itu datang dari Nusantara ke ujung selatan benua Afrika, juga melalui para Mursyid.
'Tugas utama Muslim di zaman ini adalah memerangi Riba. Caranya adalah dengan menegakkan kembali muamalat, perdagangan yang halal, penggunaan alat tukar Dinar emas dan Dirham perak, mendirikan pasar-pasar, mengamalkan kembali kontrak-kontrak bisnis menuruti sunnah, yaitu qirad dan shirkat,' demikian, antara lain, wejangan Shaykh Umar Ibrahim Vadillo kepada murid-muridnya.
Riba adalah kezaliman terbesar zaman ini. Ia juga menegaskan bahwa semua upaya ini hanyalah demi kecintaan kita kepada Allah Ta'ala dan Rasulullah salallahualaihi wasalam. Kalau kalian mengikuti saya, muamalat akan kembali tegak, ujarnya lagi.
Peristiwa pengukuhan Shaykh Umar Vadillo, orang yang pertama kali mencetak kembali Dinar emas dan Dirham perak di kurun mutakhir ini, mengikuti jejak Khalifah Umar ibn Khattab yang mengukuhkan standarnya, di sebuah masjid bernama Masjid Umar ibn Khattab, di Kuala Lumpur, adalah hadiah besar bagi umat Islam Nusantara. Semoga Allah Ta'ala meninggikan ilmu dan maqam Shaykh Umar Vadillo. Semoga Allah Ta'ala memberikan kita semua kesempatan untuk terlibat, dan menikmati, tegaknya muamalat di bumi Nusantara.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment